Kamis, 18 Maret 2010

Memperbaiki Kegagalan dalam sumberdaya manusia

"Saya tidak bisa memberikan formula yang pasti untuk kesuksesan, tapi saya bisa memberikan formula untuk kegagalan: cobalah menyenangkan setiap orang setiap saat."

Herbert Bayard Swope, Jurnalis
1882 – 1958

Memperbaiki Kegagalan dalam sumberdaya manusia

Kegagalan: tindakan atau kejadian yang tidak seseuai dengan kinerja atas sesuatu yang seharusnya atau diharapkan; ketidakcukupan.

Bisakah Anda memikirkan profesi, olahraga, atau aktivitas dimana Anda masih bisa melakukan pekerjaan sekalipun Anda memiliki nilai kegagalan 80%? Satu-satunya yang saya pikirkan adalah Sumberdaya Manusia.

Statistik yang menunjukkan kinerja HR yang buruk secara keseluruhan.
- 82% eksekutif di Amerika Utara baru-baru ini mencari pekerjaan baru.
- Kurang dari 10% populasi yang bekerja memiliki gairah terhadap kehidupan kerja mereka.

Hasil yang menyedihkan tersebut di bawah tanggung jawab Departemen Sumberdaya Manusia.

Sebelum profesional HR mulai mempertahankan kinerja mereka dan memelihara kegagalan personel, bukanlah kesalahan mereka, katakanlah saya tidak sendirian dalam melakukan observasi.

Baru-baru ini saya menghadiri sesi yang dilakukan oleh Tom Winninger, disebut sebagai pemikir terkemuka di Amerika oleh majalah Inc. Dia percaya profesional HR menjadi tidak lebih dari sekedar karyawan grosir yang menentukan siapa yang masuk dan siapa yang tidak. Dibalik fungsi tersebut, mereka seolah tidak memiliki tujuan.

Ketika saya menghadiri konferensi konsultasi dan pelatihan, kebanyakan profesional independen mengatakan mereka menghindari departemen HR.

Kami perlu mengajukan pertanyaan: Mengapa?
- Mengapa HR tidak efektif?
- Mengapa profesional ingin menghindarinya?
- Mengapa 80% individu tidak menyukai pekerjaan mereka?
- Mengapa tidak ada tindakan untuk mengatasinya?

Apa saja alasan kegagalan sumberdaya manusia? Dan apa saja kemungkinan opsinya?

1. HR telah kehilangan tujuannya.

Apa tujuan HR? Akhir-akhir ini nampaknya, mereka bermain tidak untuk kalah alih-alih bermain untuk menang. Fungsi HR telah menjadi salah satu administrasi, bukan kepemimpinan. aturan, regulasi, dan keluhan lebih penting dari sekedar pemenuhan, hasrat, produktivitas – dan ROI.

Pada konferensi HR baru-baru ini, lebih dari 80% sesi mengenai hukum dan administrasi HR. Hanya ada sedikit pelatihan yang terkait dengan pengembangan atau mengarahkan tim atau budaya.

2. Para profesional HR perlu mendapatkan kembali hasrat dan kredibilitasnya.

Bagaimana mungkin individu atau departemen HR dengan hasrat yang kecil membantu pihak lain menemukan tujuannya? Ini sederhana. Mereka tidak bisa. Kecuali profesional HR menetapkan kembali diri mereka sebagai pemimpin dengan kredibilitas dalam organisasi, mereka tidak bisa efektif dengan yang lainnya.

3. HR memiliki terlalu banyak Profesional HR yang tidak berpengalaman.

Pada sebuah perkumpulan HR, lebih dari sepertiga anggota HR memiliki pengalaman kurang dari tiga tahun. Ketika saya masih muda – saya tidak percaya jika seseorang lebih dari 40 tahun lebih cerdas atau bijak dibandingkan saya saat berusia 28 tahun. Sekarang, saya melihat sebagai perilaku yang arogan dan tidak dewasa. Tapi individu dengan pengalaman atau tidak berpengalaman di HR berupaya untuk memimpin yang lain ketika, dalam kenyataannya, mereka sendiri tidak memikiki tujuan yang jelas dan hanya sekedar memikirkan pekerjaan mereka.

4. HR harus berhenti bermain-main dengan permainan politik.

Seperti yang saya katakan di atas, HR memiliki sikap untuk tidak kalah dalam pertandingan. Tim dan organisasi bermain untuk menang. Banyak kerusakan yang sudah diakibatkan oleh perbaikan politik -- beberapa profesional HR hidup dalam ketakutan: Bagaimana jika saya menyinggung seseorang? Anda tidak pernah bisa menyenangkan setiap orang, jadi mengapa mencoba melakukannya? Ini adalah pekerjaan HR untuk memimpin. Ya, memang ada pertentangan. Lakukan saja!

5. Profesional HR harus menghentikan arogansi dan ketidaksediaan untuk berubah.

Aneh bukan, bahwa kelompok bertanggung jawab untuk membantu orang lain untuk meningkatkan dirinya dikenal sebagai dogma terkait dengan agenda dan metodenya sendiri serta ragu untuk berubah.

Salah satu individu yang paling kasar yang pernah saya temui adalah manager HR sebuah perusahaan dengan 600 staf. Dia mengatakan pada saya bahwa menjadi HR adalah anugerah Tuhan dan tidak seorangpun yang tahu apa-apa mengenai HR. Saya meninggalkan pertemuan dengan bertanya-tanya berapa korban yang ditinggalkan saat bekerja. Baru-baru ini saya tahu dia dipecat. Pemahaman saya ialah dia meninggalkan warisan ketidak percayaan, moral rendah, dan kecurigaan diberbagai level.

Saya juga menjadi bagian dari proyek dimana manajer HR memperlakukan kemandirian profesional seperti komoditi dan tidak hormat. Jenis pendekatan tersebut didasarkan pada ketidakamanan dan ketidaktahuan. Kecuali ada semangat untuk menolong dan kerjasama, ketahanan untuk suskes akan sulit dicapai di departemen HR.

6. Inilah saatnya HR untuk mengambil resiko.

Salah satu alasan profesional HR biasanya tidak menghargai profesionl eksternal adalah mereka tidak bisa atau tidak akan membuat keputusan. Mereka lebih memilih menutupi aset rutinitas. Mereka mengambil rute yang aman dan jarang berhubungan dengan proses baru. Kecuali mereka tahu teman-temannya yang sudah sukses mengimplementasikan strategi selama 25 tahun terakhir, mereka tidak akan mengambil resiko.

Profesional HR juga terjebak pada proses kebiasaan dan hubungan eksternal. Seorang manager HR secara terbuka menyetujui apa yang sudah kami ajukan pada perusahaannya adalah lebih unggul dibandingkan metode perusahaannya, tapi karena mereka sudah bekerjasama dengan perusahaan tersebut selama 10 tahun terakhir, mereka tidak ingin berubah dan menyinggung mereka.

Ya, loyalitas itu penting, ketika loyalitas itu membuat organisasi menjadi yang terbaik sebagaimana mestinya, loyalti berada di tempat yang salah.

Apakah Anda bertanya-tanya mengapa hanya ada sedikit departemen HR yang sukses? Karena mereka hanya melakukan apa yang dilakukan profesional HR lainnya dan mendapatkan hasil yang biasa-biasa saja.

7. HR harus bertanggung jawab dan memiliki akuntabilitas untuk hasil, moral dan ROI yang spesifik dan terukur – bukan sekedar "aktifitas".

Bayangkan departemen sales atau marketing tanpa target anggaran, ekspektasi atau pengukuran. Tapi tidak terbantahkan, HR, salah satu yang penting –meski bukan yang terpenting –fungsi penting dalam organisasi ditinggalkan sedikit atau tidak ada akuntabilitas. Beberapa mungkin menyanggah jika ada benchmark, tapi, jika mereka tidak bisa dikerjakan, mengapa kita masih memiliki skor kepuasan kerja, moral, dan produktivitas yang rendah?

Meski HR memegang salah satu kunci untuk membuat perbedaan banyak individu, banyak orang HR yang apatis.

Jangan salah tanggap. Saya tidak membenci HR. Saya tidak menyukai sikap tidak acuhnya dan kurangnya tanggung jawab, kepemimpinan, dan visi dari disiplin ini dibandingkan dengan apa yang seharusnya.

Ada sedikit kekhawatiran dalam memelihara status quo ini jika tidak berjalan. Pada akhirnya, HR harus terkait dengan orang – bukan sistem atau birokrasi. Inilah mengapa CRG ditujukan untuk memperkaya kehidupan orang melalui sumber-sumber yang kita sediakan bagi profesional dan individual.

"Jika Anda pernah membuat kesalahan, bahkan yang serius sekalipun, selalu ada kesempatan untuk Anda. Yang kita namakan kegagalan adalah bukannya jatuh kebawah tapi tetap di bawah."
Mary Pickford, Actress
1893 - 1979

Oleh:Ken Keis, MBA, CPC, adalah seorang penulis, pembicara, dan konsultan internasional. President dan CEO CRG Consulting Resource Group International, Inc., Banyak profesional yang merekomendasikan CRG sebagai pusat sumber global nomor satu untuk pengembangan personal dan profesional.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda